Sejarah
munculnya Ilmu Nahwu ini pada ketika zaman Abul Aswad Ad-Dauli datang kerumah
puterinya di tanah Basroh, (pada masa sekarang sebuah negeri di negara Iraq).
Pada saat itu puterinya mengatakan يَا أَبَتِ مَا اَشَدُّ الْحَرِّ, dengan membaca Rofa’ pada lafadz اَشَدُّ dan membaca jar pada lafazh الْحَرّ , yang menurut bahasa yang benar مَا nya dilakukan sebagai Istifham yang
artinya: “Wahai Ayahku ! Kenapa sangat panas?
Dengan
spontan Abul Aswad menjawab شَهْرُنَا هَذَا (Wahai Puteriku, bulannya memamg musim panas).
Mendengar
jawapan Ayahnya, puterinya langsung berkata : “Wahai Ayah, saya tidak bertanya
kepadamu tentang panasnya bulan ini, tetapi saya memberi khabar kepadamu atas
kekagumanku pada panasnya bulan ini (yang semestinya jika dikehendaki Ta’ajub
diucapkan مَا
اَشَدَّ الْحَرَّ , dengan membaca fathah pada اَشَدَّ dan membaca Nashob الْحَرَّ ).
Sejak
kejadian itu, Abul Aswad lalu datang kepada sahabat, Amirul Mu’minin Khalifah
‘Ali, Seraya berkata “ Wahai Amirul Mukminin, bahasa kita telah tercampur
dengan yang lain”, sambil menceritakan kejadian antara dia dan puterinya, maka
buatlah saya sebuah ilmu, kemudian Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali membacakan:
اَلْكَلاَمُ كُلُّهُ لاَيَخْرُجُ عَنِ اسْمٍ وَفِعْلٍ وَحَرْفٍ الخ عَلَى هَذَا النَّحْوِ
“Kalam itu
tidak boleh lepas dari kalimat Isim, Fi’il, dan Huruf, dan teruskanlah untuk
sesamanya ini”.
Kemudian
Abul Aswad Ad-Dauli mengarang bab Istifham dan Ta’jjub, dan Di kisahkan pula
dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca
al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan
:
إِنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ
Dengan
mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah.
Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik
dan rasulnya..”
Hal ini
menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rosak dan menyesatkan.
Seharusnya kalimat tersebut adalah,
إِنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُهُ
“Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”
Kerana
mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut
keindahan Bahasa Arab menjadi rosak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi
hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah Islam. Lalu beliau
mengarang bab Athof dan Na’at, yang pada setiap karangan selalu dihaturnya pada
Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali sehingga sampai mencukupi ilmu Nahwu yang
mencukupi. Dengan melihat cerita tersebut maka pengarang ilmu Nahwu pada
haqiqotnya adalah Khalifah Saidina ‘Ali, yanag melaksanaakannya adalah Abul
Aswad Ad-Dauli. Pada pekembnagan selanjutnya, banyak orang yang menimba ilmu
dari Abul Aswad, diantaranya Maimun Al-Aqron, kemudian generasinya Abu Amr bin
Ala’, kemudian generasinya Imam al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu
arudh dan penulis mu’jam pertama), kemudian generasinya Imam Sibaweh dan Imam
Al-Kisa’I (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).
Seiring
dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab,
yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah
Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya
mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.
No comments :