Penganut, Pengamal dan Pejuang
Aswaja
KH Muhammad Hasyim Asy’ari (Lahir
1287 H/1871 M, Wafat 1366 H/1947) adalah salah seorang ulama besar
Indonesia. Selain belajar kepada para ulama pesantren di Indonesia, seperti KH
Kholil Bangkalan, KH Ya’qub Siwalan dan lainnya, beliau juga menimba ilmu dari
para ulama sunni di Makkah seperti Syekh Sa’id al Yamani, Sayyid Husein al
Habsyi, Syekh Bakr Syatha, Sayyid Alawi bin Ahmad as-Saqqaf, Syekh Shalih
Bafadhl, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Tarmasi, Syekh Muhammad Nawawi al Bantani,
Syekh Ahmad Khathib al Minangkabawi, Syekh Syu’aib bin Abdurrahman al Maghribi
dan lainnya.
Sebagaimana guru-guru beliau, KH
Hasyim Asy’ari adalah penganut ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah, bahkan kemudian
menjadi tokoh pejuang Ahlussunnah paling terkemuka di Indonesia.[1]
KH Hasyim Asy’ari menegaskan akidah tanziih[2];
bahwa Allah tidak menyerupai sesuatu-pun di antara makhluk-Nya, Allah bukan jism
dan maha suci dari sifat-sifat jism, maha suci dari arah, masa dan
tempat. Beliau menjelaskan kebolehan bertawassul dengan adz-Dzawaat al
Faadhilah, seperti para nabi, Ahl al bayt dan para wali, baik ketika
mereka masih hidup ataupun sesudah meninggal, bahkan beliau sendiri sering
bertawassul dalam karya-karyanya. Beliau juga menegaskan bahwa melakukan safar
untuk ziarah ke makam Nabi termasuk sunnah yang disepakati oleh ummat
Islam dan qurbah (perbuatan taat) yang sangat agung dan memiliki
keutamaan yang sangat dianjurkan. Beliau juga menganjurkan agar peziarah
bertabarruk dengan melihat Raudlah dan Mimbar Nabi.[3]
KH Hasyim Asy’ari juga menegaskan
kewajiban bermadzhab bagi seseorang yang bukan mujtahid mutlak meskipun telah
memenuhi sebagian syarat-syarat ijtihad. Madzhab yang bisa diikuti pada
dasarnya adalah madzhab siapa-pun asalkan pendirinya adalah seorang mujtahid
mutlak, karena memang para ulama mujtahid mutlak bukan hanya pendiri madzhab
empat, seperti Sufyan ats-Tsawri, Sufyan ibn ‘Uyainah, Ishaq ibn Ra-hawaih dan
lainnya, namun KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa sekelompok ulama madzhab
Syafi’i menyatakan tidak boleh bertaklid kepada selain imam madzhab empat
karena beberapa alasan teknis. Oleh karenanya orang yang keluar dari madzhab
empat di zaman sekarang termasuk kelompok ahli bid’ah (Mubtadi’ah).[4]
Dalam menyikapi perbedaan (ikhtilaf)
antara empat madzhab dan perbedaan dalam intern madzhab Syafi’i, KH Hasyim
Asy’ari menegaskan bahwa hal tersebut sah-sah saja. Sudah maklum bahwa ikhtilaf
dalam furu’ itu telah terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah
dan mereka tidak pernah saling menyesatkan. Begitu pula antara imam Abu Hanifah
dan imam Malik misalnya, telah terjadi perbedaan pendapat dalam sekitar 4000 masalah
fiqh ibadah dan mu’amalah, juga antara imam Ahmad bin Hanbal dan imam Syafi’i.
Demikian pula terjadi perbedaan pendapat antara para ulama dalam intern madzhab
Syafi’i, antara Syakhay al Madzhab; ar-Rafi’i dan an-Nawawi, Ahmad ibnu
Hajar al Haytami dan Muhammad ar-Ramli dan para pengikut mereka. Mereka tidak
pernah saling membenci, bermusuhan, iri dengki. Sebaliknya mereka tetap saling
mencintai dan bersaudara dengan tulus.[5]
KH Hasyim Asy’ari juga mengikuti
mayoritas ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah wajib, haram, sunnah, makruh
dan mubah. Beliau menegaskan bahwa menggunakan tasbih, melafalkan niat (membaca
Ushalli), talqin mayit, sedekah untuk mayit, tahlilan, ziarah kubur dan
semacamnya adalah bid’ah hasanah bukan bid’ah sayyi-ah. [6]
Siapakah salafi dan ahli
bid’ah ?
Menurut KH Hasyim Asy’ari, Salafi (Salafiyyun)
di Indonesia adalah orang-orang yang mengikuti dan melestarikan cara beragama
dan ajaran-ajaran para pendahulu yang membawa Islam ke tanah Jawa. Salafi (Salafiyyun)
adalah para pengikut madzhab Syafi’i dalam fiqih, madzhab al Imam al Asy’ari
dalam ushuluddin dan madzhab al Ghazali dan Abu al Hasan asy-Syadzili dalam
tasawwuf. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti sistem bermadzhab dengan
madzhab tertentu, berpegang dengan kitab-kitab yang beredar dan diakui di
kalangan para ulama, mencintai Ahl al Bayt, para wali dan orang-orang
saleh, bertabarruk dengan mereka ketika masih hidup atau sudah meninggal,
berziarah kubur, melakukan talqin al mayyit, bersedekah untuk mayit,
meyakini adanya syafa’at, meyakini manfaat doa, tawassul dan semacamnya.
Sistem bermadzhab adalah sistem yang
sudah berlangsung dari masa para sahabat. Terbukti, di masa para sahabat
terdapat orang-orang awam yang meminta fatwa para ulama mujtahid di kalangan mereka
dan mengikuti fatwa-fatwa hukum mereka. Para ulama sahabatpun menjawab berbagai
pertanyaan mereka tanpa menyebutkan dalil, dan para ulama sahabat tersebut
tidak melarang orang awam mengamalkan ajaran agama dengan cara seperti itu. Ini
artinya bahwa para sahabat sepakat (ijma’) bahwa orang awam harus
mengikuti mujtahid sesuai dengan firman Allah ta’ala:
فاسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
“Maka tanyakanlah olehmu kepada
orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada Mengetahui”. (Q.S.
al Anbiya’: 7)
Dan inilah sebetulnya hakekat dan
praktek taqlid.
Para pelaku bid’ah (al Mubtadi’un)
muncul di Indonesia pada sekitar tahun 1330 H. Ahli bid’ah tersebut menurut KH
Hasyim Asy’ari terbagi ke beberapa kelompok sebagai berikut[7]:
- Para pengikut Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad ibn Taimiyah dan kedua muridnya, Ibnu al Qayyim dan Ibnu Abd al Hadi
- Kelompok Rafidlah
- Kelompok Ibahiyyun
- Para Penganut Paham Reinkarnasi
- Para Penganut Paham Hulul dan Ittihad
Pokok-pokok Ajaran Golongan
Yang Dikategorikan Ahli Bid’ah
1. Pengikut Muhammad Abduh, Rasyid
Ridla, Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad ibn Taimiyah dan kedua
muridnya Ibnu al Qayyim dan Ibnu Abd al Hadi
Rasyid Ridla dan gurunya, Muhammad
Abduh mempunyai beberapa pemikiran sebagai berikut[8]:
- Mencela para ulama dan menyatakan tidak boleh taqlid kepada mereka.
- Dianjurkan kepada siapa saja untuk melakukan ijtihad tanpa ada kriteria-kriteria tertentu.
- Daging babi boleh dimakan jika direbus dalam air yang sangat mendidih sehingga kuman dan bakteri yang ada di dalamnya mati.
- Menafsirkan malaikat dengan makna “kekuatan alam” (al-Quwaa ath-Thabii’iyyah).
- Menafsirkan jin dengan makna “bakteri dan kuman” (al-Mikruubaat).
- Mendukung teori Darwin yang menyatakan bahwa asal manusia dari kera.
Oleh karena pemikiran-pemikirannya
yang menyimpang, Rasyid Ridla dicela dan dibantah oleh banyak ulama, di
antaranya syekh Yusuf an-Nabhani, syekh Yusuf ad-Dajawi, al-Muhaddits syekh
‘Abdullah al-Ghumari dan lain-lain. Bahkan syekh Yusuf an-Nabhani pernah
menulis tentang Rasyid Ridla sebagai berikut:
وأما رشيد ذو المنار فإنه
أقلهم عقلا وأكثرهم شرا
“Adapun Rasyid Ridla, penulis
al-Manar sesungguhnya ia
Orang yang paling picik pikirannya
dan paling banyak kesesatannya”
Sedangkan golongan Wahhabi adalah
pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi (W. 1206 H). Muhammad ibn Abdul
Wahhab dan para pengikutnya yang mengkafirkan penduduk Mesir, Irak dan
sekitarnya, Syam, Hijaz dan Yaman[9] memiliki ajaran-ajaran sebagai berikut:
- Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan meyakini bahwa Allah duduk atau bersemayam di atas Arsy.
- Mengkafirkan dan memusyrikkan orang yang bertawassul dengan nabi atau wali yang sudah meninggal atau tidak hadir di hadapan orang yang bertawassul.
- Memusyrikkan orang yang mengalungkan Hiriz.
- Memusyrikkan para pengikut madzhab empat.
- Menyesatkan Tasawwuf dan Tarekat
Oleh karenanya ketika golongan
Wahhabi menyerbu kota Tha-if, mereka membunuh semua orang, tua-muda,
besar-kecil, rakyat dan para pejabat. Mereka menyembelih anak yang sedang
menyusu ibunya, merampas harta dan menawan para wanita,[10]karena mereka
menganggap penduduk Hijaz kafir musyrik.
Para ahli fiqh, hadits, tafsir serta
para sufi di segenap penjuru dunia Islam telah menulis banyak sekali (lebih
dari seratus) risalah-risalah kecil atau buku-buku khusus untuk membantah
Muhammad ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Di antaranya adalah Syekh Ahmad
ash-Shawi al Maliki (W. 1241 H), Syekh Ibnu 'Abidin al Hanafi (W. 1252
H), Syekh Muhammad ibn Humaid (W. 1295 H), mufti Madzhab Hanbali di
Makkah al Mukarramah, Syekh Ahmad Zaini Dahlan (W. 1304 H), mufti madzhab
Syafi’i di Makkah al Mukarramah dan ulama lainnya.
2. Kelompok Rafidlah
Mereka adalah golongan yang mencela
sayyidina Abu Bakr dan Umar serta membenci seluruh sahabat Nabi kecuali
sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka melampaui batas dalam mencintai sayyidina
‘Ali dan ahlul bait. Sebagian dari mereka bahkan masuk kategori kafir dan
zindiq.
3. Kelompok Ibahiyyun
Mereka adalah golongan yang
menyatakan bahwa seorang hamba yang sudah sampai derajat tertinggi dalam
kecintaan kepada Allah, telah suci dan jernih hatinya serta telah tertanam kuat
keimanan dalam kalbunya, maka gugur (tidak berlaku) baginya perintah dan
larangan Allah. Dan Allah tidak akan memasukkannya ke dalam neraka dengan sebab
perbuatan dosa besar yang ia lakukan. Sebagian dari mereka menyatakan, hamba
tersebut gugur baginya ibadah-ibadah yang zhahir, dan ibadahnya hanya berupa
merenung dan memperbaiki perilaku yang bathin. Paham seperti ini, menurut
Sayyid Muhammad Murtdla az-Zabidi dalam Syarh Ihyaa’ Uluumiddiin sebagaimana
dikutip mbah Hasyim dalam Risaalah Ahlissunnah wal Jamaa’ah, hlm. 11,
adalah kekufuran, kezindikan dan kesesatan.
4. Para Penganut Paham Reinkarnasi
Mereka adalah golongan yang meyakini
reinkarnasi roh dan berpindahnya roh selamanya dari satu badan ke badan yang
lain; disiksa atau memperoleh kenikmatan sesuai dengan suci atau kejinya roh
tersebut. Paham seperti ini jelas adalah kekufuran.
5. Para Penganut Paham Hulul
dan Ittihad
Mereka adalah kaum shufi gadungan (Jahalah
al-Mutashawwifah). Mereka berkeyakinan bahwa tiada yang ada kecuali Allah;
Allah adalah keberadaan mutlak dan segala sesuatu selain-Nya tidak disifati
dengan keberadaan sama sekali. Paham ini, menurut al-‘Allamah al-Amir dalam Hasyiyah
‘Abdissalam sebagaimana dikutip mbah Hasyim, adalah kekufuran yang nyata.
KH Hasyim Asy’ari juga menegaskan
bahwa madzhab Imamiyyah dan Zaidiyyah adalah madzhab para ahli
bid’ah dan tidak boleh berpegang dengan pendapat-pendapat mereka.[11]
Setelah menjelaskan tentang berbagai
golongan dan ajaran-ajaran yang menyimpang tersebut, KH Hasyim Asy’ari
menegaskan bahwa kebenaran berada pada golongan Salafi tersebut yang
mengikuti jalan para salaf salih karena mereka-lah mayoritas ummat
Muhammad, dan merekalah yang ajarannya sesuai dengan para ulama sunni yang ada
di Haramain dan ulama al Azhar asy-Syarif yang merupakan teladan
ahlul haqq. Mereka terdiri dari para ulama yang tersebar di seluruh penjuru
dunia yang sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya.
KH Hasyim Asy’ari juga sangat
berempati terhadap ulama-ulama Makkah yang sempat terusir dari Makkah sekitar
tahun 1343 H, seperti guru beliau ketika di Makkah, Syekh Sa’id bin Muhammad al
Yamani asy-Syafi’i, Syekh Abdul Hamid Sunbul Hadidi al Hanafi, Syekh Hasan bin
Sa’id al Yamani, Syekh Muhammad Ali bin Sa’id al Yamani. Mereka sempat
mengungsi ke Gresik, Jawa Timur karena gangguan dan intimidasi Wahhabi terhadap
para mukimin di sekitar Masjid al Haram.[12]
Faktor-faktor Penyebab Munculnya
Penyimpangan
Di antara penyebab muncul dan
terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam Islam menurut KH Hasyim
Asy’ari[13] adalah:
1. Tidak Menguasai seluk beluk
bahasa Arab dan berbagai gaya bahasa (Asaalib) dalam bahasa Arab
KH Hasyim Asy’ari menegaskan
bahwa sekian banyak orang tersesat dari jalan yang benar dikarenakan mengikuti
pemahaman orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang
berbagai gaya bahasa dalam bahasa arab. Beliau menyatakan: “Al Ashmu’i
meriwayatkan dari al Khalil dari Abu ‘Amr ibn al ‘Ala-‘, ia berkata:
"أَكْثَرُ مَنْ تَزَنْدَقَ
بِالعِرَاقِ لِجَهْلِهِمْ بِالعَرَبِـيَّةِ".
“Kebanyakan orang yang Zindik di
Irak disebabkan kebodohan mereka tentang bahasa Arab."
2. Tidak Memiliki Perangkat Keilmuan
yang Cukup
Ketika menjelaskan kewajiban
bermadzhab bagi orang awam, KH Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa pemahaman orang
awam tidak diperhitungkan sama sekali, selama tidak sesuai dengan pemahaman
para ulama Ahlul Haqq al Akabir al Akhyar.
Karena sesungguhnya masalah bukan
berada pada teks-teks al Qur’an atau-pun hadits-hadits yg shahih, melainkan
terletak pada pemahaman yang keliru terhadap teks-teks tersebut. Oleh
karenanya, setiap ahli bid’ah dan orang yang tersesat-pun mengaku memahami
ajaran-ajaran mereka yang batil dari al Kitab dan as-Sunnah, tetapi
itu tidak menyelamatkan mereka dari kesalahan.
Demikian penting kaedah ini untuk
diikuti dan diamalkan, sehingga KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa seseorang
yang bukan mujtahid mutlak diharuskan bertaklid kepada salah satu madzhab empat
dan tidak boleh memahami sendiri dan beristidlal langsung dari ayat-ayat
al Qur’an dan hadits-hadits Nabi.
Identifikasi Beberapa Kesesatan Dan
Kekufuran
KH Hasyim Asy’ari, dengan mengutip
dari beberapa ulama mengidentifikasi berbagai keyakinan dan ajaran yang
menyimpang dan mengeluarkan seseorang dari Islam. Beliau menyatakan:[14]
"قَالَ القَاضِي عِيَاضٌ فِي
الشِّفَا: إِنَّ كُلَّ مَقَالَـةٍ صَرَّحَتْ بِنَفْيِ الرُّبُـوْبِـيَّةِ أَو
الوَحْدَانِيَّةِ أَوْ عِبَادَةِ غَيْرِ اللهِ أَوْ مَعَ اللهِ فَهِيَ كُفْرٌ
كَمَقَالَةِ الدَّهْرِيَّةِ وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوْسِ وَالَّذِيْنَ أَشْرَكُوْا
بِعِبَادَةِ الأَوْثَانِ أَوْ الْمَلاَئِكَةِ أَو الشَّيَاطِيْنِ أَو الشَّمْسِ
أَو النُّجُوْمِ أَو النَّارِ أَوْ أَحَدٍ غَيْرِ اللهِ. وَكَذلِكَ أَصْحَابُ
الْحُلُوْلِ وَالتَّـنَاسُخِ، وَكَذلِكَ مَنْ اعْـتَرَفَ بِإِلـهِيَّةِ اللهِ
وَوَحْدَانِـيَّتِهِ وَلكنَّهُ اعْتَـقَدَ أَنَّهُ غَيْرُ حَيٍّ أَوْ غَيْرُ
قَدِيْمٍ أَوْ أَنَّهُ مُحْدَثٌ أَوْ مُصَوَّرٌ، أَوْ ادَّعَى لَهُ وَلَدًا أَوْ
صَاحِبَةً، أَوْ أَنَّهُ مُتَوَلِّدٌ مِنْ شَىْءٍ أَوْ كَائِنٌ عَنْهُ، أَوْ أَنَّ
مَعَهُ فِي الأَزَلِ شَيْئًا قَدِيْمًا غَيْرَهُ، أَوْ أَنَّ ثَمَّ صَانِعًا
لِلْعَالَمِ سِوَاهُ أَوْ مُدَبِّرًا غَيْرَهُ، فَذلِكَ كُلُّهُ كُفْرٌ
بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِيْنَ. وَكَذلِكَ مَن ادَّعَى مُجَالَسَةَ اللهِ تَعَالَى
وَالعُرُوْجَ إِلَيْهِ وَمُكَالَمَتَهُ أَوْ حُلُوْلَهُ فِي أَحَدِ الأَشْخَاصِ
كَقَوْلِ بَعْضِ الْمُتَصَوِّفَـةِ وَالبَاطِـنِيَّةِ وَالنَّصَارَى، وَكَذلِكَ
نَقْطَعُ عَلَى كُفْرِ مَنْ قَالَ بِقِدَمِ العَالَمِ أَوْ بَقَائِـهِ، أَوْ قَالَ
بِتَـنَاسُخِ الأَرْوَاحِ وَانْتِـقَالِهَا أَبَدَ الآبَـادِ فِي الأَشْخَاصِ
وَتَعْذِيْـبِهَا وَتَنْعِيْمِهَا بِحَسَبِ زَكَائِهَا وَخُبْثِهَا، وَكَذلِكَ
مَنْ اعْـتَرَفَ بِالإِلـهِيَّةِ وَالوَحْدَانِـيَّةِ وَلكِنَّهُ حَجَدَ
النُّـبُوَّةَ مِنْ أَصْلِهَا عُمُوْمًا أَوْ نُـبُوَّةَ نَبِيِّـنَا خُصُوْصًا،
أَوْ أَحَدًا مِنَ الأَنْـبِيَاءِ الَّذِيْنَ نَصَّ اللهُ عَلَيْهِمْ بَعْدَ
عِلْمِهِ بِذلِكَ فَهُوَ كَافِرٌ بِلاَ رَيْبٍ، وَكَذلِكَ مَنْ قَالَ إِنَّ
نَبِيَّـنَا لَيْسَ الَّذِي كَانَ بِمَكَّةَ وَالْحِجَازِ، وَكَذلِكَ مَن ادَّعَى
نُـبُوَّةَ أَحَدٍ مَعَ نَبِيِّـنَا r أَوْ بَعْدَهُ أَوْ مَن ادَّعَى
النُّـبُوَّةَ لِنَفْـسِهِ، وَكَذلِكَ مَن ادَّعَى مِنْ غُلاَةِ الْمُتَصَوِّفَـةِ
أَنَّـهُ يُوْحَى إِلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَدَّعِ النُّـبُوَّةَ، قَالَ فِي
الأَنْوَارِ: وَيُقْطَعُ بِتَكْفِيْرِ كُلِّ قَائِلٍ قَوْلاً يُتَوَصَّلُ بِهِ
إِلَى تَضْلِيْلِ الأُمَّـةِ وَتَكْفِيْرِ الصَّحَابَةِ، وَكُلِّ فَاعِلٍ فِعْلاً
لاَ يَصْدُرُ إِلاَّ مِنْ كَافِرٍ كَالسُّجُوْدِ لِلصَّلِيْبِ أَو النَّارِ، أَوْ
الْمَشْيِ إِلَى الكَنَائِسِ مَعَ أَهْلِهَا بِزِيِّهِمْ مِنَ الزَّنَانِيْرِ
وَغَيْرِهَا".
“Al Qadli ‘Iyadl berkata dalam
kitab asy-Syifa: Setiap perkataan yang tegas menafikan rububiyyah
(ketuhanan) Allah, keesaan Allah atau perkataan yang menyatakan beribadah
kepada selain Allah, atau beribadah kepada sesuatu selain Allah digabung dengan
ibadah kepada Allah, maka itu semua adalah kekufuran, seperti perkataan
golongan Dahriyyah, orang-orang kristen, majusi, orang-orang yang menyekutukan
Allah dengan menyembah berhala, para Malaikat, Setan, Matahari, bintang, api,
atau siapa-pun dan sesuatu apa-pun selain Allah. Demikian pula para penganut keyakinan
Hulul dan Reinkarnasi. Demikian pula orang yang mengakui ketuhanan dan keesaan
Allah tetapi dia meyakini Allah tidak hidup, tidak Qadim, atau bahwa
Allah baharu, berbentuk dan bergambar, atau mengklaim bahwa Allah memiliki
anak, isteri, atau Allah terlahir dari sesuatu, ada dari sesuatu, atau meyakini
bahwa ada sesuatu selain Allah yang qadim ada bersama Allah pada azal,
atau meyakini ada pencipta atau pengatur seluruh alam ini selain Allah, itu
semua adalah kekufuran dengan ijma’ (konsensus) ummat Islam. Demikian pula
orang yang mengaku telah duduk-duduk bersama Allah, bertemu dan
berbincang-bincang dengan Allah, atau meyakini Allah menempati tubuh seseorang
seperti perkataan sebagian orang yang mengaku sufi, sebagian bathiniyyah dan
orang-orang nasrani. Demikian pula kita memastikan kekufuran orang yang
meyakini keqadiman alam dan kekalnya alam, atau meyakini reinkarnasi roh dan
berpindahnya roh selamanya dari satu badan ke badan yang lain; disiksa atau
memperoleh kenikmatan sesuai dengan suci atau kejinya roh tersebut. Demikian
pula orang yang mengakui ketuhanan Allah dan keesaannya tetapi mengingkari
kenabian secara mutlak dan umum, atau mengingkari kenabian nabi kita secara
khusus, atau kenabian salah seorang nabi yang ditegaskan oleh Allah padahal dia
mengetahui hal itu, maka dia kafir tanpa keraguan sedikit-pun. Begitu pula
orang yang mengatakan bahwa nabi kita bukan yang berada di Makkah dan Hijaz.
Demikian pula orang yang mengklaim kenabian untuk seseorang bersama (di masa)
Nabi kita Muhammad atau setelahnya atau yang mengaku dirinya sebagai
nabi, demikian juga para sufi (gadungan) ekstrim yang mengaku menerima
wahyu meskipun tidak mengaku sebagai nabi. Dalam kitab al Anwar
dikatakan: Dan dikafirkan secara pasti setiap orang yang mengucapkan perkataan
yang berujung kepada penyesatan terhadap ummat Islam dan pengkafiran terhadap
para sahabat. Demikian pula dikafirkan secara pasti setiap pelaku perbuatan
yang tidak akan muncul kecuali dari orang kafir, seperti sujud kepada salib
atau api, berjalan ke gereja bersama orang-orang kristen dengan pakaian ritual
mereka seperti zunnar dan lainnya“.
Peringatan Kepada Masyarakat
Dalam Muqaddimah al Qaanun al
Asaasi Li Jam’iyyah Nahdlatil Ulama, KH Hasyim Asy’ari setelah
menjelaskan tentang pentingnya persaudaraan, persatuan, guyub rukun,
bekerja sama dan saling tolong menolong, dan bahaya perpecahan, beliau kemudian
mengingatkan para ulama madzhab empat akan bahaya golongan-golongan yang
menyimpang yang telah berkonsolidasi dalam berbagai perkumpulan dan menyebutkan
beberapa hadits dan atsar tentang hal itu. Salah satu hadits yang beliau
sebutkan:
قَالَ رَسُـوْلُ اللهِ صلى الله عليه
و سلم : "إِذَا ظَهَرَت الفِتَنُ وَالبِدَعُ وَسُبَّ أَصْحَابِيْ
فَلْيُظْهِرِ العَالِمُ عِلْمَهُ، فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذلِكَ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ
اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ" أخرجه الخطيب
البغدادي
“Jika muncul berbagai fitnah,
bid’ah dan para sahabatku dicaci,maka hendaklah seorang ulama menampakkan
ilmunya (menjelaskan dan menyebarkannya kepada masyarakat), jika ia tidak
melakukannya maka ia terkena laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya”
(H.R. al Khathib al Baghdadi).
والحمد لله وصلى الله وسلم على رسول
الله ، والله أعلم وأحكم .
[1] KH Hasyim Asy’ari, Risaalah
Ahl as-Sunnah wa al-Jamaa’ah fi Hadiits al-Mautaa wa Asyraath as-Saa’ah wa
Bayaan Mafhuum as-Sunnah wa al-Bid’ah. Baca juga Muhammad Asad
Syahaab, al-‘Allaamah Muhammad Hayim Asy’ari: Waadli’ Labinah Istiqlaal
Indonesia, Daar as-Shaadiq, Beirut, 1971.
[2] Lihat KH Hasyim Asy’ari, muqaddimah
kitab at-Tanbiihaat al-Waajibbaat li man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkaraat.
[3] Lihat KH Hasyim Asy’ari, an-Nuur
al-Mubiin fii Mahabbah Sayyid al-Mursaliin, hlm. 66-75
[4] Lihat Risaalah fi Ta’akkud
al-Akhdz bi Madzaahib al-Aimmah al-Arba’ah.
[5] KH Hayim Asy’ari, at-Tibyaan
fii an-Nahy ‘an Muqaatha’ah al-Arhaam wa al-Aqaarib wa al-Ikhwaan, hlm. 16.
[6] KH Hasyim Asy’ari, Risaalah
Ahl as-Sunnah, hlm. 8.
[7] KH Hasyim Asy’ari, Risalah
Ahl as-Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 9-13.
[8] Lihat Majallah al-Manar dan
Tafsir al-Manar.
[9] Lihat buku mereka yang berjudul Fath
al Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 191.
[10] Lihat ad-Durar as-Saniyyah
fi ar-Radd ‘ala al Wahhabiyyah, hal. 41.
[11] KH Hasyim Asy’ari, Risaalah
fii Ta’akkud, hlm.29.
[12] KH Hasyim Asy’ari, Aadaab
al-‘Aalim wa al-Muta’allim fii maa Yahtaaju ilaihi al-Muta’allim fii Ahwaal
Ta’allumihi wa maa Yatawaqqafu ‘alaihi al-Mu’allim fii Maqaamaat Ta’liimihi, hlm.102-108.
[13] KH Hasyim Asy’ari, Risalah
Ahl as-Sunnah Wal Jama’ah, hlm.13.
[14] KH Hasyim Asy’ari, Risalah
Ahl as-Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 14.
No comments :